Jumat, 07 Desember 2018

Pengertian dan Hukum Tahlilan / Yasinan menurut 4 Mahzab

A. Pengertian Tahlilan
Hakekat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Karena itu, Allah Subhaanahu Wata’ala menurunkan kitab-Nya dan mengutus  rasul-Nya untuk mengajarkan kepada manusia cara beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata’ala.
Pengertian dan hukum dari tahlilan-Tahlilan adalah acara ritual (serimonial) memperingati hari kematian yang biasa dilaku-kan oleh umumnya masyarakat Indone-sia. Acara tersebut diselenggarakan keti-ka salah seorang dari anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan selesai dilakukan, seluruh keluarga, handai tau-lan, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit hendak menye-lenggarakan acara pembacaan beberapa ayat al Qur’an, dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan untuk mayit di “alam sana” karena dari sekian materi bacaannya ter-dapat kalimat tahlil ( لاَ إِلَهَ إِلا اللهُ ) yang diulang-ulang (ratusan kali), maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Kenyataannya, masih banyak ritual yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia yang tidak jelas asal usulnya dalam agama, tapi justru seakan-akan hukumnya menjadi wajib, tahlilan misalnya. Ritual ini, seakan sudah mengurat daging dan menjadi kelaziman yang mengikat masyarakat tatkala tertimpa musibah kematian. Tak heran, sangat jarang keluarga yang tidak menyelenggarakan ritual ini karena takut diasingkan masyarakatnya. Katanya pula, ritual ini adalah ciri khas penganut mazhab Syafi’i.
B. Dalil dalil tentang Tahlilan
Dari Jarir bin Abdullah al Bajali Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata
كُنَّا نَرَى الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul pada keluarga orang meninggal dan membuat makanan (untuk disajikan ke pelayat) termasuk niyahah (meratapi jenazah yang terlarang).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Syaikh al Albani).
Syaikh al Albani menjelaskan, “Lafal hadits (كُنَّانَرَى) (kami berpendapat) ini kedudukannya sama dengan meriwayatkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat atau taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika ini adalah taqrir Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka artinya, hadits ini marfu’ hukman (jalur periwayatannya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam). Bagaimana pun juga, hadits ini dapat dijadikan hujjah.” (Lihat Shahih Ibnu Majah, 2/48).
Ijma’ para sahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur’an dan Sunnah. Ini merupakan kesepakatan para ulama Islam seluruhnya.
Riwayat lain, dari Abdullah bin Ja’far, beliau berkata, “Ketika sampai kabar gugurnya Ja’far, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan.” (HR. Ahmad, asy-Syafi’i, dan selainnya, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
Apa yang kita saksikan di masyarakat kita, ternyata sangat berbeda dengan apa yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau memerintahkan untuk membuat makanan, tapi bukan untuk para pelayat. Sebaliknya, keluarga yang sedang dirundung dukalah yang lebih berhak untuk dilayani.
Dari Ibn Abi Syaibah, beliau berkata,
قَدِمَ جَرِيْرٌ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ : هَلْ يُـنَاحُ فَبْلَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ ؟ قَالَ : لاَ، فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَ يُطْعِمُ الطَّعَامَ ؟ قَالَ : نََعَمْ، فَقَالَ : تِلْكَ النِّيَاحَةُ
“Jarir mendatangi Umar, lalu Umar berkata, “Apakah kamu sekalian suka meratapi janazah?” Jarir menjawab, ”Tidak.” Umar berkata, “Apakah ada di antara wanita-wanita kalian, suka berkumpul di rumah keluarga jenazah dan memakan hidangannya?” Jarir menjawab, “Ya.” Umar berkata, “Hal demikan itu adalah sama dengan niyahah (meratap).”
C. Ulama Mazhab Menyikapi Selamatan Kematian
1.    Mazhab Syafi’i
Saudara-saudara kita yang melaksanakan tahlilan pada umumnya berdalih, tahlilan adalah ciri khas penganut mazhab Syafi’i.
Namun apa kata Imam Syafi’i sendiri tentang hal ini? Beliau berkata dalam kitabnya al Umm, 1/318),
“Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam musibah kematian) sekalipun tanpa diiringi tangisan, karena hal itu akan memperbarui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu.”
Perkataan beliau  di atas sangat jelas dan tak bisa ditakwil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain, kecuali bahwa beliau dengan tegas melarang berkumpul-kumpul di rumah duka. Ini sekadar berkumpul, bagaimana pula jika disertai dengan tahlilan malam pertama, ketiga, ketujuh, dan seterusnya yang tak seorang pun sahabat pernah melakukannya?
Imam Syafi’i juga berkata, “Dan saya menyukai agar para tetangga mayit beserta kerabatnya untuk membuatkan makanan yang mengenyangkan bagi keluarga mayit di hari dan malam kematian. Karena hal tersebut termasuk sunnah dan amalan baik para generasi mulia sebelum dan sesudah kita.” (Al Umm,1/317).
Imam Nawawi—rahimahullah—berkata, “Dan adapun duduk-duduk ketika melayat maka hal ini dibenci oleh Syafi’i, pengarang kitab ini (As-Sirozi) dan seluruh kawan-kawan kami (ulama-ulama mazhab Syafi’i). (Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 5/278).
Imam Nawawi juga menukil dalam al Majmu’ (5/290) perkataan pengarang kitab asy-Syamil, “Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk makan-makan, maka hal itu tidaklah dinukil sedikit pun (dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) bahkan termasuk bid’ah (hal yang diada-adakan dalam agama), bukan sunnah.”
2.    Mazhab Maliki
Imam at-Thurthusi berkata dalam kitab al Hawadits wa al Bida’ hal. 170-171, “Tidak apa-apa seorang memberikan makanan kepada keluarga mayit. Tetangga dekat maupun jauh. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tatkala mendengar kabar wafatnya Ja’far, beliau bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan.”
Makanan seperti ini sangat dianjurkan oleh mayoritas ulama karena hal tersebut merupakan perbuatan baik kepada keluarga dan tetangga. Adapun bila keluarga mayit yang membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk makan-makan, maka tidak dinukil dari para salaf sedikit pun. Bahkan menurutku, hal itu termasuk bid’ah tercela. Dalam masalah ini, Syafi’i sependapat dengan kami (mazhab Maliki).”
3.    Mazhab Hanafi
Al Allamah Ibnu Humam berkata dalam Syarh Hidayah hal. 1/473, tentang kumpul-kumpul seperti ini, “Bid’ah yang buruk.”
4.    Mazhab Hanbali
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni 1/496, “Adapun keluarga mayit membuatkan makanan untuk manusia, maka hal tersebut dibenci karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka serta menyerupai perilaku orang-orang jahiliyah.”
Dan inilah mazhab Hanbaliyah sebagaimana tersebut dalam kitab al Inshof, 2/565 oleh al Mardawaih.
Inilah di antara perkataan para ulama mazhab menyikapi tahlilan. Ternyata, selain menguras tidak sedikit harta benda kita—bahkan ada yang sampai berhutang untuk menyelenggarakan tahlilan—juga tidak bernilai ibadah di sisi Allah Subhaanahu Wata’ala bahkan dia adalah bid’ah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabatnya, dan ulama seluruh mazhab. 
Sejatinya, seorang muslim setelah mengetahui hukum sesuatu, maka dia akan berkata seperti perkataan orang-orang mukmin yang diabadikan dalam al Qur’an, “Kami mendengar, dan kami patuh.” (QS. An-Nur: 51).
Dan jangan sampai, justru ucapan kita sebagaimana pernyataan orang-orang musyrik yang juga diabadikan dalam al Qur’an, ketika diseru untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah Azza Wajalla, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.”
Maka Allah Azza Wajalla berkata kepada mereka, “(Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah: 170). Wallahul Haadi ilaa ath-thoriq al Mustaqim.
Bahan bacaan: Al Furqon, 12/II/1424, dan sumber-sumber lainnya. (Al Fikrah)
Sumber dari: http://wahdah.or.id/tahlilan-menurut-ulama-empat-mazhab/

PENGERTIAN, TATA CARA, UNSUR, DAN FUNGSI TABLIGH

A. Pengertian Tabligh

Gambar terkait
Tabligh adalah menyampaikan atau mengajak sekaligus memberikan suatu contoh kepada orang lain untuk melakukan perbuatan yang benar dalam kehidupan.
Dilihat dari asal katanya, tabligh berasal dari kata kerja (fi`il) Balagha > yubalighu yang berarti menyampaikan. Sedangkan menurut istilah, tabligh adalah menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang diterima dari Allah swt. kepada umat manusia supaya dijadikan pedoman hidup dan agar mendapatkan kebahagian didunia dan ahirat.
Adapun pengertian tabligh akbar adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk menyampaikan sesuatu (ceramah) kepada khalayak ramai atau masyarakat luas. Tabligh akbar berasal dari bahasa Arab, tabligh yang artinya menyampaikan, sedangkan akbar artinya besar. Dalam pengertian sempit, tabligh akbar diartikan sebagai pengajian.

B. Tata Cara Tabligh

Berikut merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan seseorang sebelum menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam.
  • Bersikap lemah lembut, tidak berhati besar, dan tidak merusak.
  • Menggunakan akal dan selalu dalam koridor mengingat Allah Swt.
  • Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
  • Mengutamakan musyawarah dan berdiskusi guna memperoleh kesepakatan bersama.
  • Materi dakwah yang disampaikan harus memiliki dasar hukum yang kuat dan jelas sumbernya.
  • Tidak meminta upah atas dakwah yang dilakukannya.
  • Menyampaikan dengan ikhlas dan sabar, harus sesuai dengan waktu, kepada orang dan tempat yang tepat.
  • Tidak menghasut orang lain untuk bermusuhan, merusak, berselisih, dan mencari-cari kesalahan orang lain.
  • Melakukan dakwah dan disertai dengan beramal saleh atau perbuatan baik.
  • Tidak menjelek-jelekkan atau membeda-bedakan orang lain karena inti yang harus disampaikan dalam berdakwah adalah tentang tauhid dan ajaran agama Islam yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw..

C Unsur-Unsur Tabligh

Berikut merupakan unsur-unsur tabligh.
  • Sumber (Alquran dan Hadis)
  • Komunikator.mubalig (khusus dan umum).
  • Mubalig khusus adalah mubalig yang profesional.
  • Mubalig umum adalah mubalig yang hanya sekedar menyampaikan ajaran Islam.
  • Secara umum atau garis besarnya saja.

D. Fungsi Tabligh

Berikut ini merupakan beberapa fungsi tabligh.

E. Fungsi Tabligh bagi Mablug (Objek Tabligh)

Bagi mablug, fungsi tabligh adalah sebagai berikut.
  • Menanamkan pemahaman tentang urusan agama.
  • Membantu mablug dalam pemahaman akidah yang benar.
  • Membantu mablug guna melaksanakan ibadah sesuai yang disyariatkan Allah Swt.
  • Membantu mablug dalam bermuamalah dan beretika atau berakhlak baik.
  • Mengembangkan dan meningkatkan jiwa, hati, akal, dan jasmani.

F. Fungsi Tabligh dalam Kegiatan Tabligh

Dalam kegiatan tabligh, tabligh berfungssi sebagai.
  • Memperdalam pemahaan tabligh kepada AllaH Swt. Semakin jelas pemahaman tabligh kepada Allah Swt., semakin besar faedahnya bagi tablig itu sendiri.
  • Memantapkan tabligh dan jiwa, akal, dan kehidupan manusia. Mentapnya tabligh dalam hati manusia akan menjadikan mereka menghormati dan memuliakannya, lalu meningkatkan mencintai tabligh dan masuk ke dalam barisan orang-orang yang mengamalkannya.
  • Mengukuhkan potensi tabligh dalam berbagai faktor. Terdapat tiga sektor utama, yakni sektor akidah, sektor ibadah, dan sektor muamalah.

G. Fungsi Tabligh terhadap Mubalig

Berikut merupakan beberapa fungsi tabligh bagi mubalig.
  • Membekali mubalig dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kepandaian.
  • Menanggulangi berbagai ujian atau cobaan.
  • Memperbanyak kesempatan amal.
  • Menumbuhkan semangat untuk melakukan amalan baik.
  • Mengikuti pelatihan, dan memberi kesempatan kepada mubalig untuk melaksanakan amal kebajikan dan memberi
  • harapan atau kabar gembira dari sisi Allah Swt.
SUMBER : http://www.sumberpengertian.co/pengertian-tabligh

Rukun, Sunnah, dan Syarat Khutbah Jum'at LENGKAP

SYARAT, RUKUN, DAN SUNNAH KHUTBAH JUM'AT

A. Syarat-Syarat Khutbah
1. Khatib harus suci dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
2. Khatib harus suci dari najis, baik badan, pakaian, maupun tempatnya.
3. Khatib harus menutup auratnya.
4. Khatib harus berdiri bila mampu.
5. Khutbah harus dilaksanakan pada waktu dzuhur.
6. Khutbah harus disampaikan dengan suara keras sekira dapat didengar oleh empat puluh orang yang hadir.
7. Khatib harus duduk sebentar dengan thuma’ninah (tenang seluruh anggota badannya) di antara dua khutbah.
8. Khutbah pertama dan khutbah kedua ha­rus dilaksanakan secara berturut-turut, begitu pula antara khutbah dan shalat jum’ah.
9. Rukun-rukun khutbah harus disampaikan dengan bahasa arab, adapun selain rukun boleh dengan bahasa lain.

B. Rukun-Rukun Khutbah
1. Khatib harus membaca Hamdalah, pada khutbah pertama dan khutbah kedua.
2. Khatib harus membaca Shalawat kepada Rasulullah saw, pada khutbah pertama dan Khutbah kedua.
3. Khatib harus berwasiat kepada hadlirin agar bertaqwa kepada Allah, baik pada khutbah pertama maupun khutbah kedua.
4. Khatib harus membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu dari dua khutbah.
5. Khatib harus mendoakan seluruh kaum muslimin pada khutbah kedua.

C. Sunnah-Sunnah Khutbah
1. Khutbah hendaknya disampaikan di atas mimbar, yang berada disebelah kanan mihrab.
2. Khatib hendaknya mengucapkan salam, setelah berdiri di atas mimbar (sebelum berkhutbah).
3. Khatib hendaknya duduk sewaktu adzan sedang dikumandangkan oleh Bilal.
4. Khatib hendaknya memegang tongkat de­ngan tangan kiri.
5. Khutbah hendaknya disampaikan dengan suara yang baik dan jelas, sehingga mu­dah dipahami dan diambil manfaatnya oleh para hadlirin.
6. Khutbah hendaknya tidak terlalu panjang.
Begitulah hendaknya khutbah jum’ah disam­paikan oleh khatib, dan lebih sempurna lagi bila khatib berakhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi kaum muslimin, sebab ia adalah sang pemberi nasehat, maka sudah sepatutnya bila berperilaku yang baik dan dapat diteladani. Semoga kita senantiasa mendapatkan Hidayah dan Taufiq dari Allah Ta’ala, Amin.

Penerapan Sikap Syajaah dalam Kehidupan Sehari-hari

A. Berani
Keberanian berasal dari bahasa latin yaitu Cor yang berati “jantung”, dan bahasa Perancis Corage yang berarti “hati dan jiwa” atau cuer, yang berarti “hati.” Maksudnya, untuk memiliki keberanian harus memiliki hati untuk menghadapi ketakutan, bahaya atau sakit yang diperlukan dalam membela kebenaran, kehidupan rumah, mata pencaharian, budaya keluarga, maupun keyakinan.
Jadilah Muslim Pemberani!
B. Sumber Keberanian
Marilyn King (dalam Indra : 2010) mengatakan bahwa keberanian kita secara garis besar dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu
1. Visi (vision), yakni tujuan (goal) yang ingin kita capai.
2. Tindakan nyata (action), berupa usaha yang kita lakukan dalam mengupayakan tercapainya tujuan.
3. Semangat (passion), kondisi untuk tetap bertahan dalam rangka usaha untuk memperoleh tujuan.
Ketiga hal tersebut mampu mengatasi rasa khawatir, ketakutan, dan memudahkan kita meraih impian-impian.
C. SYAJA’AH
Syaja’ah artinya berani, tetapi bukan berani dalam arti siap menentang siapa saja tanpa mempedulikan apakah dia berada di pihak yang benar atau salah, dan bukan pula berani mempeturutkan hawa nafsu, tetapi berani yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh pertimbangan (Ilyas, 2012 : 116).
Menurut pandangan Islam, berani tidaklah ditentukan oleh kekuatan fisik, tetapi oleh kekuatan hati dan kebersihan jiwa. Rasulullah SAW bersabda
“Bukanlah yang dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat. Sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai dirinya diwaktu marah”. (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri (hawa nafsu) ketika marah adalah bentuk keberanian yang muncul dari hati yang dan jiwa yang kuat.
D. Bentuk – bentuk Keberanian
Menurut Ilyas (2012 : 116), keberanian tidak hanya ditunjukkan dalam peperangan, tapi juga dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
1. Keberanian Jihad Fii Sabilillah (mengahadapi musuh dalam peperangan).
Sebagai seorang muslim harus berani maju untuk berperang dalam membela kebenaran sampai menang atau mati syahid. Hal ini sebagaimana terdapat dalam QS. Al- Anfal ayat 15-16,
“Hai orang –orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka diwaktu itu (mundur), kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya adalah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”.
Rasulullah telah mencontohkan hal ini dalam perang Badar, dengan pasukan 300 orang berani menghadapi lawan yang jumlahnya tiga kali lipat (sekitar 1000 orang) dan ternyata Rasulullah bersama sahabatnya berhasil mencapai kemenangan.
2. Keberanian menyatakan kebenaran (kalimah al-haq) meskipun di depan penguasa yang zalim.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“ Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan dihadapan penguasa yang zalim”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
3. Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia mampu melampiaskannya.
Hal ini telah dibahas pada sub-bab sebelumnya.
E. Sumber Keberanian
Menurut Raid ‘Abdul Hadi dalam bukunya Mamarat Al-Haq (dalam Ilyas, 2012 : 118), ada tujuh faktor yang menyebabkan seseorang memiliki keberanian :
1. Rasa takut kepada Allah SWT.
Selama seseorang yakin bahwa yang dilakukannya dalam rangka menjalankan perintah Allah, maka orang tersebut tidak takut kepada siapapun kecuali Allah SWT. Apabila ada yang membuatnya takut, maka dia harus yakin bahwa Allah adalah penolong dan pelingdung.
“Cukuplah Allah yang menjadi Penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (QS. Ali-Imran : 173)
2. Lebih mencintai akhirat daripada dunia
Perlu dipahami bahwa dunia bukanlah tujuan akhir, namun hanya sebagai jembatan menuju akhirat. Seorang muslim tidak akan ragu meninggalkan dunia asalakan dia mendapat kebahagiaan di akhirat.
3. Tidak takut mati
Apabila ajal sudah datang, tidak ada yang dapat mencegah atau lari darinya. Kematian adalah sebuah kepastian dan setiap orang pasti akan mati.
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu didalam benteng yang tinggi lagi kokoh…”. (QS. An-Nisa :78)
Seorang muslim tidak akan takut mati, apalagi mati dalam Jihad.
4. Tidak ragu-ragu
Salah satu yang menyebabkan munculnya rasa takut adalah perasaan ragu-ragu. Apabila seseorang ragu dengan kebenaran yang dia lakukan tentu dia akan menghadapi resiko. Tetapi apabila dia penuh keyakinan maka muncullah keberanian. Rasulullah SAW mengajarkan :
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, menuju apa-apa yang tidak meragukanmu”. (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
5. Tidak menomorsatukan kekuatan materi
Kekuatan materi diperlukan dalam perjuangan, tetapi materi bukanlah segala-galanya. Allah yang menentukan segala sesuatu.
6. Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah
Orang yang berjuang untuk kebenaran tidak pernah takut, karena setelah berusaha dengan keras maka dia akan bertawakal dan memohon pertolongan kepada Allah SWT,
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya…” (QS. Ath-Thalaq : 3)
7. Hasil Pendidikan
Sikap berani lahir melalui pendidikan yang diterapkan dirumah, sekolah, masjid, maupun lingkungan. Sebagai contoh, anak yang dididik dan diasuh oleh orang tua pemberani juga akan tumbuh dan berkembang menjadi pemberani.
F. Jubun (Penakut)
Lawan dari sifat Saja’ah adalah Jubun (Al-Jubn), yaitu penakut. Penakut adalah sifat tercela, sifat orang-orang yang tidak benar-benar takut kepada Allah SWT. Peribahasa Arab mengatakan :
“Siapa yang takut kepada Allah, Allah akan membuat segala sesuatu takut kepadanya. Sebaliknya siapa yang tidak takut kepada Allah, maka dia akan membuat dia takut kepada segala sesuatu”.
SUMBER ; http://www.ngekul.com/sikap-berani-syajaah-dalam-islam/4/ , https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2016/01/01/86606/jadilah-muslim-pemberani.html

Manfaat Ta'ziyah Dalam Islam



A. Pengertian Ta'ziyah


Secara bahasa Ta’ziyah (التعزية) artinya menguatkan. Sedangkan secara istilah adalah menganjurkan seseorang untuk bersabar atas beban musibah yang menimpanya, mengingatan dosanya meratap, mendoakan ampunan bagi mayit dan dari orang yang tertimpa musibah dari pedihnya musibah.

Imam al Khirasyi mengistilahkan Ta’ziyah dengan : “Menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”.

B. Pensyariatan Ta'ziyah
Diantara dalil pensyariatannya adalah sebuah hadits :

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلاَّ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ حُلَل الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang Mukmin bertakziyah kepada saudaranyayang terkena musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaiankemulian kepadanya di hari kiamat.” ( HR. Ibn Majah)

C. Hukum Ta'ziyah
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama bahwasanya hukum berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah adalah sunnah.

D. Fadhilah Ta'ziyah
 
1. Mendapat pahala seperti pahala orang yang tertimpa musibah

مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ

“Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut.” (HR Tirmidzi)

2. Mendapatkan kemuliaan di hari Kiamat

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلاَّ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ حُلَل الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang Mukmin bertakziyah kepada saudaranyayang terkena musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaiankemulian kepadanya di hari kiamat.” ( HR. Ibn Majah)

E. Yang dita'ziahi
Yang dita’ziahi adalah orang yang tertimpa musibah baik laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Kecuali anak yang belum memiliki akal. Dan wanita muda tidak boleh dita’ziyahi oleh laki-laki yang bukan muhramnya karena dikhawatirkan fitnah. Tentu ini apabila sifat takziyahnya sendiri-sendiri, adapun bila bersama-sama tentu kembali kehukum asalnya (boleh).

F. Waktu Bert'ziah
Menurut jumhur ulama, waktu berta’ziyah adalah tiga hari, dan dimakruhkan melebihi dari tiha hari, karena tujuan Ta’ziyah itu untuk menenangkan hati orang yang tertimpa musibah.

Setelah tiga hari, hati biasanya sudah bisa tenang. Justru bila ada Ta’iyah setelah itu, akan mengingatkan kepada kesedihannya. Pendapat ini didasarkan kepada hadits :

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung kerana (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR Bukhari dan Muslim)

Menurut Jumhur, waktu terbaik untuk berta’ziyah adalah setelah mayit dikafankan.

G. Yang diucapkan ketika berta'ziah
Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, boleh disimpulkan bahawa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.

Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu'alaihi wasallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan:

رَحِمَكَ اللهُ وَآجَرَكَ

“Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala.” (HR Tirmidzi)

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab al Adzkar berpendapat yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi shallallahu'alaihi wasallam kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi khabar kematian sesorang.

أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

"Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah.”( HR. Muslim)

Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika bertakziyah orang muslim yang ditinggal mati oleh orang muslim, membaca :

أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَك

"Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayat.”[6]

H. Ta'ziyah kepada orang kafirHasil gambar untuk taziyah
Ada perbedaan pendapat dalam masalah takziyah kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan).

Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya. Imam Malik berpendapat tidak boleh berta’ziyah kepada orang kafir. Sedangkan dalam mahab hanabilah ada dua riwayat pendapat, sebagian riwayat menyebutkan kebolehannya sedangkan dalam riwayat yang lain melarang.[7]

Dalil kalangan yang membolehkan adalah riwayat : Dahulu ada seorang anak Yahudi yang sering membantu Nabi shallallah'alaihi wasallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah shallallah'alaihi wasallam menengoknya.

Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”. Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim shallallahu'alaihi wassallam ,” maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi shallallah'alaihi wasallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka.” (HR Bukhari).

Sumber : http://www.konsultasislam.com/2015/11/taziah.html , https://www.google.co.id/url?sa=i&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjHpfeZ743fAhUZfH0KHUhtDDwQjB16BAgBEAQ&url=https%3A%2F%2Fwww.ahmadzain.com%2Fread%2Fkarya-tulis%2F583%2Fhukum-taziyah-kepada-orang-kafir%2F&psig=AOvVaw287BDs4Tv3RYh-QAzoZ9pa&ust=1544277117059894

Minggu, 30 September 2018

Menghindari Diri Dari Tindak Kekerasan


Hasil gambar untuk menghindari diri dari kekerasan dalam islam

Al-Qur’an sangat tegas menentang kekerasan. Untuk tujuan apa pun, atas nama apa dan siapa pun,  serta kepada siapa pun, bahkan untuk kepentingan agama Allah pun, cara-cara kekerasan harus tetap dihindari, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat: لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ /Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).(Q.S. al-Baqarah/2:256). Jihad, sekali lagi, pada hakikatnya bertujuan untuk menghidupkan orang dan mengangkat martabat kemanusiaan. Allah Swt. juga dengan tegas melarang melakukan tindakan pembunuhan kepada orang yang tak berdosa:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (Q.S. al-Isra’/17:13).
Siapapun tidak boleh memandang enteng sebuah jiwa, karena Allah Swt. menegaskan bahwa:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Q.S. al-Maidah/5:32).
Begitu indahnya ayat ini sehingga Barak Obama dalam pidato ilmiahnya di Universitas Cairo Mesir pernah mengutip ayat ini. Menurut Obama, sedemikian besar perhatian Tuhan terhadap nyawa dan jiwa setiap orang sehingga pernyataan ayat tersebut tidak pernah ditemukan di dalam kitab suci mana pun.
Hasil gambar untuk menghindari diri dari kekerasan dalam islam
Jihad sesungguhnya untuk mewujudkan kedamaian makrokosmos (alam raya) dan mikrokosmos (manusia). Keseimbangan antara alam dan manusia serta makhluk hidup lainnya hanya bisa diwujudkan jika sesama umat manusia saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Persaudaraan antar sesama adalah salah satu hal yang dijadikan tujuan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ /Innamal mu’minuna ikhwah (Sesungguhnya orang-orang yang memiliki keimanan (kepada Tuhan) adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (jika terjadi konflik). (Q.S. al-Hujurat/49:10). Jika seorang sudah beriman kepada Tuhan, seperti apa pun keimanannya, harus diperlakukan secara terhormat. Allah Swt juga menyatakan:وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الْمُؤْمِنِينَ  /Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Syu’ara/26:114).
Allah Swt. menegaskan agar sesama manusia saling memuliakan satu sama lain: وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ/Walaqad karramna Bani Adam (Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (Q.S. Al-Isra’/17:70). Siapa pun yang merasa anak cucu Adam tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, agama, dan kepercayaannya, wajib saling menghormati satu sama lain. Kita wajib memuliakan umat manusia sebagaimana Sang Penciptanya memuliakannya. Bukan hanya kepada orang lain, tetapi terhadap diri sendiri pun Allah Swt melarang untuk mencelakakan diri, sebagaimana ditegaskan: وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ /Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah/2:195).
Memang kita berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran, sepahit apa pun risikonya, sebagaimana sabda Nabi: “Katakanlah kebenaran itu sekalipun pahit akibatnya”. Namun dalam menyampaikannya kita tetap diminta melakukannya dengan penuh kebijakan:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl/16:125).
Dalam ayat lain ditegaskan:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, (Q.S. al-Qashash/28:56).
Subhanallah, sedemikian mulia dan agung nilai-nilai kemanusiaan di dalam Al-Qur’an. Sayangnya, ada segelintir orang yang sering mengatasnamakan diri-Nya untuk menodai nilai-nilai keagungan itu.
Sumber : http://nasaruddinumar.org/menghindari-kekerasan/